
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak dapat memperoleh informasi dengan melimpah, cepat dan mudah dari berbagai sumber dan tempat di dunia. Dengan demikian peserta didik perlu memiliki kemampuan memperoleh, memilih, mengelola informasi untuk bertahan pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif. Kemampuan ini membutuhkan pemikiran kritis, sistematis, logis kreatif dan kemauan bekerja sama yang efektif. Cara berpikir seperti ini dapat dikembangkan melalui belajar matematika karena matematika memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya sehingga memungkinkan peserta didik terampil berpikir rasional.
Setiap peserta didik perlu memiliki penguasaan matematika pada tingkat tertentu, yang merupakan penguasaan kecakapan matematika untuk dapat memahami dunia dan berhasil dalam kariernya. Kecakapan matematika yang ditumbuhkan pada peserta didik merupakan sumbangan mata pelajaran matematika kepada pencapaian kecakapan hidup yang ingin dicapai melalui kurikulum.
Pendidikan matematika mempunyai potensi besar untuk memainkan peran strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia untuk menghadapi era industrialisasi dan globalisasi. Potensi ini dapat terwujud jika pendidikan matematika mampu melahirkan peserta didik yang cakap dalam matermatika dan berhasil menumbuhkan kemampuan berpikir logis, bersifat kritis, kreatif, inisiatif dan adaptif terhadap perubahan dan perkembangan. Kualitas sumber daya manusia seperti ini menjamin keberhasilan upaya penguasaan teknologi untuk pembangunan di Indonesia.
Agar potensi tersebut dapat terwujud, diperlukan orientasi baru dalam pendidikan matematika yang meliputi reformasi sasaran program pendidikan matematika ke arah pengembangan kemampuan berpikir dan berbahasa, penyiapan peserta didik menghadapi isu sosial dampak penerapan Iptek, penanaman nilai-nilai etika dan estitika, kemampuan memecahkan masalah, pengembangan sikap kemandirian, kreatifitas serta tanggung jawab. Reformasi ini penting artinya terutama sejak diberlakukannya kurikulum 2004 SMA karena dalam kurikulum tersebut mata pelajaran lebih ditekankan pada penguasaan bahasa dan Iptek.
Akan tetapi tuntutan itu akan semakin berat dipenuhi, karena kenyataan di lapangan masih ditemui bahwa pembelajaran matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit dan menakutkan bagi peserta didik. Ketidaktahuan peserta didik mengenai kegunaan matematika dalam praktik sehari-hari menjadi penyebab mereka lekas bosan dan tidak tertarik pada pelajaran matematika, disamping pengajar matematika yang mengajar secara monoton dan hanya berpegang teguh pada diktat-diktat atau buku-buku paket saja, tanpa penggunaan metode pembelajaran yang sesuai dan tanpa pemanfaatan media yang menarik dan sesuai dengan perkembangan iptek. Jika memperhatikan amanah yang disampaikan kurikulum 2004, diharapkan peserta didik mampu menggunakan materi matematika dalam pemecahan masalah. Dengan kata lain, peserta didik diharapkan dapat memahami materi dan memperoleh manfaat untuk hidupnya serta tumbuhnya nilai-nilai sosial kemasyarakatan sebagai ciri khas bangsa Indonesia yang berkebudayaan, bukan semata-mata hanya bertujuan supaya meraih nilai tes yang tinggi yang berdampak munculnya jiwa individualis dalam persaingan.
TEORI VYGOTSKY
Lev Semenovich Vygotsky (1896-1934), seorang Russia, menyatakan bahwa peserta didik dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998). Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada peserta didik selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan peserta didik itu belajar mandiri.
Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan konstruktivisme sosio (socio-constructivism). Peserta didik berinteraksi dengan guru, dengan peserta didik lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal peserta didik mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan.
Secara umum, penganut faham konstruktivisme sosial memandang bahwa pengetahuan matematika merupakan konstruksi sosial. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa: (1) Basis dari pengetahuan matematika adalah pengetahuan bahasa, perjanjian dan hukum-hukum, dan pengetahuan bahasa merupakan konstruksi sosial; (2) Proses sosial interpersonal diperlukan untuk membentuk pengetahuan subyektif matematika yang selanjutnya melalui publikasi akan terbentuk pengetahuan matematika; obyektif dan (3) Obyektivitas itu sendiri merupakan masalah sosial (Ernest, 1991:42). Lebih lanjut, Ernest (1991: 43) menyatakan bahwa konstruktivisme sosial mengaitkan antara pengetahuan subyektif dan pengetahuan obyektif dalam suatu siklus melingkar. Maksudnya, pengetahuan matematika baru terbentuk melalui suatu siklus melingkar yaitu dimulai dari pengetahuan subyektif ke pengetahuan obyektif melalui suatu publikasi. Pengetahuan obyektif matematika diinternalisasi dan dikonstruksi oleh peserta didik selama proses belajar matematika. Hudojo (2003: 1) menjelaskan proses rekonstruksi metematika yang dilakukan oleh peserta didik itu (menggabungkan pendapat Ernest, 1991dan Leiken & Zaslavsky, 1997) sebagai berikut. Pertama, pengetahuan obyektif matematika direpresentasikan peserta didik dengan mengkonstruk melingkar yang ditunjukkan dengan alur mengkaji/menyelidiki, menjelaskan, memperluas, mengevaluasi sehingga terjadi rekonstruksi metematika konsepsi awal. Kedua, konsepsi awal sebagai hasil rekonstruksi individu tersebut merupakan pengetahuan subyektif matematika. Ketiga, pengetahuan subyektif matematika tersebut di”kolaborasi”kan dengan peserta didik lain, guru dan perangkat belajar (peserta didik-guru-perangkat belajar) sehingga terjadi rekonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding. Keempat, matematika yang direkonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding dan direpresentasikan oleh kelompok tersebut merupakan pengetahuan baru yaitu konsepsi peserta didik setelah belajar sehingga menjadi pengetahuan obyektif matematika.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan konstruktivisme sosial, pengetahuan itu diperoleh secara individu yaitu dengan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dari proses interaksi dengan obyek yang dihadapinya serta pengalaman sosial.
Setiap peserta didik perlu memiliki penguasaan matematika pada tingkat tertentu, yang merupakan penguasaan kecakapan matematika untuk dapat memahami dunia dan berhasil dalam kariernya. Kecakapan matematika yang ditumbuhkan pada peserta didik merupakan sumbangan mata pelajaran matematika kepada pencapaian kecakapan hidup yang ingin dicapai melalui kurikulum.
Pendidikan matematika mempunyai potensi besar untuk memainkan peran strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia untuk menghadapi era industrialisasi dan globalisasi. Potensi ini dapat terwujud jika pendidikan matematika mampu melahirkan peserta didik yang cakap dalam matermatika dan berhasil menumbuhkan kemampuan berpikir logis, bersifat kritis, kreatif, inisiatif dan adaptif terhadap perubahan dan perkembangan. Kualitas sumber daya manusia seperti ini menjamin keberhasilan upaya penguasaan teknologi untuk pembangunan di Indonesia.
Agar potensi tersebut dapat terwujud, diperlukan orientasi baru dalam pendidikan matematika yang meliputi reformasi sasaran program pendidikan matematika ke arah pengembangan kemampuan berpikir dan berbahasa, penyiapan peserta didik menghadapi isu sosial dampak penerapan Iptek, penanaman nilai-nilai etika dan estitika, kemampuan memecahkan masalah, pengembangan sikap kemandirian, kreatifitas serta tanggung jawab. Reformasi ini penting artinya terutama sejak diberlakukannya kurikulum 2004 SMA karena dalam kurikulum tersebut mata pelajaran lebih ditekankan pada penguasaan bahasa dan Iptek.
Akan tetapi tuntutan itu akan semakin berat dipenuhi, karena kenyataan di lapangan masih ditemui bahwa pembelajaran matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit dan menakutkan bagi peserta didik. Ketidaktahuan peserta didik mengenai kegunaan matematika dalam praktik sehari-hari menjadi penyebab mereka lekas bosan dan tidak tertarik pada pelajaran matematika, disamping pengajar matematika yang mengajar secara monoton dan hanya berpegang teguh pada diktat-diktat atau buku-buku paket saja, tanpa penggunaan metode pembelajaran yang sesuai dan tanpa pemanfaatan media yang menarik dan sesuai dengan perkembangan iptek. Jika memperhatikan amanah yang disampaikan kurikulum 2004, diharapkan peserta didik mampu menggunakan materi matematika dalam pemecahan masalah. Dengan kata lain, peserta didik diharapkan dapat memahami materi dan memperoleh manfaat untuk hidupnya serta tumbuhnya nilai-nilai sosial kemasyarakatan sebagai ciri khas bangsa Indonesia yang berkebudayaan, bukan semata-mata hanya bertujuan supaya meraih nilai tes yang tinggi yang berdampak munculnya jiwa individualis dalam persaingan.
TEORI VYGOTSKY
Lev Semenovich Vygotsky (1896-1934), seorang Russia, menyatakan bahwa peserta didik dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998). Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada peserta didik selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan peserta didik itu belajar mandiri.
Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan konstruktivisme sosio (socio-constructivism). Peserta didik berinteraksi dengan guru, dengan peserta didik lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal peserta didik mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan.
Secara umum, penganut faham konstruktivisme sosial memandang bahwa pengetahuan matematika merupakan konstruksi sosial. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa: (1) Basis dari pengetahuan matematika adalah pengetahuan bahasa, perjanjian dan hukum-hukum, dan pengetahuan bahasa merupakan konstruksi sosial; (2) Proses sosial interpersonal diperlukan untuk membentuk pengetahuan subyektif matematika yang selanjutnya melalui publikasi akan terbentuk pengetahuan matematika; obyektif dan (3) Obyektivitas itu sendiri merupakan masalah sosial (Ernest, 1991:42). Lebih lanjut, Ernest (1991: 43) menyatakan bahwa konstruktivisme sosial mengaitkan antara pengetahuan subyektif dan pengetahuan obyektif dalam suatu siklus melingkar. Maksudnya, pengetahuan matematika baru terbentuk melalui suatu siklus melingkar yaitu dimulai dari pengetahuan subyektif ke pengetahuan obyektif melalui suatu publikasi. Pengetahuan obyektif matematika diinternalisasi dan dikonstruksi oleh peserta didik selama proses belajar matematika. Hudojo (2003: 1) menjelaskan proses rekonstruksi metematika yang dilakukan oleh peserta didik itu (menggabungkan pendapat Ernest, 1991dan Leiken & Zaslavsky, 1997) sebagai berikut. Pertama, pengetahuan obyektif matematika direpresentasikan peserta didik dengan mengkonstruk melingkar yang ditunjukkan dengan alur mengkaji/menyelidiki, menjelaskan, memperluas, mengevaluasi sehingga terjadi rekonstruksi metematika konsepsi awal. Kedua, konsepsi awal sebagai hasil rekonstruksi individu tersebut merupakan pengetahuan subyektif matematika. Ketiga, pengetahuan subyektif matematika tersebut di”kolaborasi”kan dengan peserta didik lain, guru dan perangkat belajar (peserta didik-guru-perangkat belajar) sehingga terjadi rekonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding. Keempat, matematika yang direkonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding dan direpresentasikan oleh kelompok tersebut merupakan pengetahuan baru yaitu konsepsi peserta didik setelah belajar sehingga menjadi pengetahuan obyektif matematika.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan konstruktivisme sosial, pengetahuan itu diperoleh secara individu yaitu dengan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dari proses interaksi dengan obyek yang dihadapinya serta pengalaman sosial.
Posting Komentar